Ketika
bintang mulai bernyanyi perlahan, lalu detik demi detik menghilang. Saat itu
aku akan berdoa, semoga waktu berputar melawan arah, dan tak akan pernah ada
luka.
Tuhan biarkan yang
tertulis semestinya perlahan berjalan, membiarkan satu persatu tawa yang ada
tertahan. Menciptakan ribuan pertanyaan yang harusnya aku biarkan diam.
Haruskah aku mengatakan bahwa di
sudutmu aku mungkin lebih terlihat tak peduli, tapi di sudut dalam bagian yang
lain nuraniku terkoyak perlahan. Jujur aku akui semua memang salahku, aku yang
memulai, tetapi tak pernah bersikap dewasa untuk memperbaikinya.
Waktu terlalu
banyak berjalan, aku memang berubah dan kamu bilang kamu juga iya. Tahukah kamu
berapa lama aku harus berusaha lupa, agar aku bisa terus hidup tanpa suara tawa
dan tangis atas namamu yang tercipta. Meskipun aku mengingatnya, itu hanya
berupa sebuah serpihan.
Hingga
aku akhirnya belajar dewasa bahwa cerita lebih dari sekedar menyimpan luka agar
bisa kunikmati sakitnya, tetapi agar aku tetap bisa bertahan tanpa ada namamu
lagi nantinya.
Demi
Tuhan, aku tetap manusia dimana rasa bersalah itu ada dan berusaha
memperbaikinya. Terlambatkah aku? Kamu bisa saja mengatakan itu 'IYA', karena
terlalu lama aku menghilang dan saat ini aku lebih suka menjadi pendiam.
Sedangkan kamu harus selalu bertahan hari demi hari dengan salahku di masa yang
kulewatkan.
Mungkin
seharusnya sekarang kamu bisa terbang, bukannya malah terpuruk dalam rasa yang
terus menghilang. Karena katamu sayapmu tak seutuhnya bersamamu lagi.
Tahukah
kamu rasa bersalah ini mengoyakku perlahan, ketika mengetahui bahwa kamu masih
hidup dalam cerita lama. Cerita yang perlahan tapi pasti membuatmu tak bisa
berubah. Cerita yang seharusnya dengan mudah selesai, tetapi nyatanya malah
masih membuatmu terluka. Cerita yang seharusnya di kubur dalam-dalam tetapi
malah semakin terbuka adanya.
Bolehkah
aku membantumu untuk menyelesaikan semuanya. Agar akhirnya demi waktu yang
tersisa aku sempat melihatmu tertawa. Tawa semestinya yang seharusnya sudah kamu
nikmati bertahun-tahun yang lalu. Tawa yang semestinya sudah kamu tunjukkan
dalam waktu yang terlewat perlahan. Tawa yang harusnya benar-benar tulus tanpa
ada airmata yang tercipta.
Karena seharusnya
dongeng tentang peri berakhir dengan bahagia. Dan tak ada satupun cerita yang
menceritakan bahwa akhir kehidupan terguyur airmata. Sayangnya ini tentang
hidup Elf, dan mau tak mau aku terpaksa menelan tetesan embun yang berupa air
mata agar aku sadar rasa sakitnya.
Bisa jadi aku tak akan pernah bisa
memasuki kehidupanmu lagi untuk membayar salahku yang dulu. Bisa jadi aku tak
akan pernah bisa lagi memperbaiki hidupmu, atau sekedar memperbaiki sayapmu. Agar kau bisa terbang bebas menatap langit dan tertawa.